seni Trotoar tanpa lampu Merah
inkonsistensi tema ( Baca : Budaya ) dalam cacatan surin welangon
FORKOT /Forum Kota gresik
menempuh jalan alternatif pada saat seni ter- pinggir-kan oleh sistem
regulasi kebijakan penguasa. para pekerja seni menemui jalan buntu untuk
menuju ruang transformasi budaya, di gresik hampir tak pernah ada ruang
yang secara ikhlas diperuntukkan oleh pemerintah untuk seniman dalam
proses mendokumentasi kebudayaannya. mediasi gelaran Forum Kota
dengan tema ”seni trotoar ”tanpa narkoba, agaknya harus secara klise perlu dijelaskan disini. Mengapa saya pisah tema diawal antara seni trotoar
dalam tanda petik dengan tema tanpa narkoba. mengapa juga perlunya
dipertajam kekuatan tema dari segala niat yang muncul dan terhimpun
menjadi visi kegelisahan para pegiat - penikmat seni, budaya, untuk
menemukan ruang publik / gedung presentatif.
Trotoar
muncul sebagai tema dalam launching biro seni forkot, berbagai elemen
yang bergesekan selama ini, daya tahan eksistensinya hingga saat ini
karena para pegiat musik perkusi , penikmat musik pop ( Group Band )
secara sengaja selalu membentuk opini – opini kecil di warung kopi.
Ide-ide keterbatasan muncul lalu Forum Kota menangkap signal akan
situasi perlu atmosfir kesenian di gresik. Dengan membawa tema Trotoar
diharapkan secara ”iba” dan dalam tinjauan estetik yang unik, trotor
bisa dijadikan alasan untuk siapapun tertampung untuk memberikan
kontribusi apresiatif terhadap seniman yang akan menawarkan gagasannya.
Sayang sekali ide kontemporer trotoar tidak dapat dilaksanakan karena
kendala teknis jalan protokol dan terpaksa tema ini menjadi inkonsisten
ketika berbagai elemen yang hadir di geser kedalam suatu space yaitu
samping halaman gedung berpaving dan secara otomatis aura yang akan
muncul dari seni trotoar sudah jauh dari semangat awal yaitu seni
trotoar dan berbagai dampak aksi reaksi artistik, kemudian dapat
diidentifikasi menjadi gejala pembaharuan gerakan seni pinggiran di
gresik. Contoh lain media seni instalasi berupa miniatur visual traktor
dari media kertas semen dan bambu yang digunakan Forum Kota ketika
melakukan demontrasi menolak reklamasi pantai.ini adalah awal dari
sebuah pengungkapan media seni ( seni rupa dan teater ) dalam mengiringi
aksi sebuah elemen masa aksi di kota gresik. Dan dapat juga
dikatagorikan seni pertunjukan menurut saya.
Lantas gagasan
apa yang mau ditawarkan digelaran tema seni trotoar kali ini, seni apa
yang mau diapresiasi, untung masih ada musikalisasi puisi yang disajikan
oleh KOmunitas PInggiran , yang bisa mengingatkan keadaan dan siklus
kebudayaan yang terjadi di kota SANTRI ( kawaSAN indusTRI ), bagai
sebuah arena , gelaran Forum Kota hanya menfasilitasi ruang dan waktu,
publik yang hadir lebih gampang dicerna karena publik Forkot bukan
publik yang secara mampu memformalisaikan kebudayaannya dimana dia
dibesarkan, publik yang hadir adalah komunitas penghobi genre musik pop
komersil yang mengelompok dan terbagi menurut nama band yang di FUNs
–natik-kan. Wow...sebuah dialektika yang unik bahwasanya kelompok Funs
yang tergabung dalam Slankers, ST12-setia, Ranger canchuters, Massiver
..mau dan meluangkan hadir dengan membawa solidaritas yang tinggi untuk
peduli dalam suatu tema ” seni pinggiran ”saya katakan ini adalah onani
kebudayan dari kelompok yang dihimpun oleh kekuatan solidaritas hubungan
emosional dan intelektual yang dijaga oleh para eks-aktifis PMII
terhibrida dengan beberapa genre seniman lalu muncul dalam satu obsesi
seni, FORKOT beserta masyarakat Funs Club-nya.
Tak ada dialog dalam session membicarakan kebudayaan, seperti
kegelisahan Soekarno ketika menghadapi varian musik rock`n roll,
cha..cha..cha..ngak ngik ngek . pada dekade demokrasi terpimpin 1959 .
penyaji dalam hal ini Kris A.W seorang pelukis dan ketua Dewan Kesenian
Gresik yang memang alfa dan harus menyadari bahwa relasi gelaran pada
forum ini adalah awal dari persentuhan para pegiat, pelaku kebudayaan (
Seniman ) dengan warga kotanya. Yang hedonis, sekretarian, dan cendrung
konsumeris dan terse- skat oleh aliran musik meski tampil utuh sebagai
hasil korelasi solidaritas, tidak ada yang salah dalam gelaran di ruang
publik kali ini, karena kota gresik sendiri para pegiatnya terlalu
mendikotomi antara seni eksklusif yang lahir dari seniman akademis dan
seni pinggiran yang lahir karena gesekan hegemoni sosial dan penikmat
seni yang ada di kampus, di program – program kulikuler. dalam peta
penyajian karya sehingga mana rupa, tari, teater,sastra , film, musik ,
komunitas funs musik industri jauh dari sosio kultur gresik yang
notabene gresik dalam endapan sejarah abad – 14 adalah kota pelabuhan
yang dengan segala jenis urbanisasi tentunya akan membawa warisan
sejarah budaya etnisnya sendiri, dan dalam sejarah kekuasaan memastikan
sebuah kasanah islami yang akan tertampilkan dan dijaga ketat oleh
penguasa sebagai seni warisan adiluhung ( Exclusive ), dalam konstelasi
budaya nasional gresik bisa di tafsirkan dalam damar kurung mbah
masmundari, songkok H. Awieng, yaitu budaya tradisionalisme aliran
ketimuran ( 1930-an ), dalam momongan ke-partai-an ( Berdirinya Cabang
Lesbumi digresik – 1960-an ) tradisionalisme – modern ( Mural dinding
karya sapto raharjo di gedung wisma A.Yani 1970-an ) , dan masih banyak
lagi yang belum tercover yaitu para pegiat teater cager, pada perupa
angkatan 80-an ( Lulusan ASRI – ISI Yogyakarta – IKIP / UNESA Surabaya )
yang mewarnai daya apresiasi masyarakat gresik yang cenderung memandang
seni rupa adalah seni pragmatis ( pengaruh booming art dealer lukisan
surealisme Yogyakarta , Surabaya ). Sastra realisme sosial H.U. Mardi
Luhung yang melalang buana hingga tak terbaca oleh masyarakatnya
sendiri.
Sebuah kebingungan
ketika mau ngomong akar budaya, kemana dan di mana tempatnya, kenapa
forkot mengagas di trotoar ? apa ini majas sarkasme yang ditujukan bagi
para pengelola daerah karena lupa antara visi negara dalam membangun
kebudayaan dengan terselenggaranya iklim keseniaan yang di dalamnya
penguasa juga harus bertanggung jawab untuk memberi respon positif pada
pelaku-pelaku estetika.
Bagi saya tema trotoar akan lebih indipenden ( TANPA ) tanpa sosialisasi UU narkoba,
Support iklan , Pesan Sponsor dari BNK( Badan Narkotika Kabupaten
gresik ) pada acara yang disajikan pada malam itu, dengan
mensosialisasikan undang-undang no 35 tahun 2009 tentang narkoba, tutor
menjelaskan sembari menayangkan slide / fragmen 2 gadis belia pecandu
narkoba, miris,..... tapi saya tidak yakin semiris nasib kesenian di
kota gresik. Sebuah langkah yang sangat awal memang bagi biro seni
Forkot untuk me - redesain kembali sebuah wacana gelaran publik budaya
yang nantinya akan disajikan pada tiap bulanan dengan secara nomaden
dan diharapkan bisa menghadirkan pegiat - penikmat seni yang berbeda –
beda. Sunguh usaha yang tidak mudah untuk mendekatkan seni pada publik,
tentunya dengan berbagai audiens yang bisa memahami wacana seni – seni
wacana . dan saya yakin situasi ini jika berlangsung terus menerus akan
terjadi dengan sendiri apa esensi dari kebudayaan gresik lantas akan
menemukan akar budaya gresik yang selama ini selalu luput dari sapaan
para pelaku seni di gresik. Apa seni hanya mencapai takaran sekedar
rasa nikmat dan menjadi gaya hidup berkelompok anak-anak pecinta ( Funs
musik komoditas ), atau seniman gresik akan kembali terjebak pada
imajinernya sendiri, dan art publik lebih dikehendaki dari pada
eksistensi DKG
tanggal 20
februari 2009 di pelataran gedung pramuka-gresik , ketua DKG sebagai
penyaji juga tidak punya kesempatan banyak untuk bicara tentang
idealisme seni dan mensosialisasikan DKG dengan bentuk yang bisa renyah
untuk didengar publik di gresik , beliau berusaha menawarkan jika
seniman dan masyarakat perlu kehadiran DKG, apapun caranya, apa dengan
ada kontrak politik ( Gresik menjelang Suksesi Pilkab ), atau people
power ( Kebuntuan lobi ) . Ketua DKG ini malah tak sengaja mengadu pada
publik tentang lambatnya Surat Keputusan ( SK ) dari Bupati gresik yang
digantung sejak 2007 belum turun juga , otomatis DKG hidup dengan 0.0
digit untuk menjalankan agenda yang telah menjadi amanat musyawarah
seniman gresik, , suasana sedikit profokatif ketika saya katakan
,``Rebut GNI untuk Kesenian dan Kebudayan .” dan audien yang 85 % adalah
para kumpulan Fun Club Musik langsung menyambut dengan nada
ke-kiri-an—rebut. .......rebut,....cita rasa seperti manifesto
kebudayaan yang telah 80 tahun kita lampau, kenapa harus kontrak
politik, kenapa tidak mengadopsi gagasan – gagasan forkot, atau NGGRESIK
dotcom ( Kumpulan Blog`e wong gresik )untuk terus memanfaatkan ruang
publik dan ruang maya, kenapa harus menunggu direbut , bukankan jalan
kesenian akan lancar tanpa lampu merah.
Setidaknya
baru terasa bahwa DKG tidak sendirian, seniman gresik masih punya
penikmat meskiput kiblat mereka berbeda. Penikmat universal dalam
tataran pemahanan tentang seni hanya sampai pada tataran unik dan mahal.
Ya.....awal dari insulin yang baik untuk menghangatkan agenda- agenda
biro seni Fokot ke depan. Dan sejak acara dibuka yang bisa saya
definisikan adalah sebuah istighosah budaya untuk menyelamatkan sejarah
warisan, romantisme kejayaan kanjeng sunan yang harus dipertahankan
sehingga segala bentuk seni pinggiran yang begitu dekat dengan
kerakyatan akan muncul menjadi penyadaran – penyadaran di ruang - ruang
kapitalisme industri, dan komunitas – komunitas seniman melenceng dari
budaya timur dan tumbuh secara uiversal akan membunuh citra rasa gresik
kota santri , atau para hedonis tetap menjadi manusia yang pasif karena
tergerus komoditas musik kaset VCD, Gadget , dunia maya ,Facebook,
Perfect Wold, Mafia war, kekuawatiran pengakuan para penikmat, pegiat
seni untuk mengadukan , menanyakan relasi seni dan pemerintah kepada
birokrat di kota gresik, bahwa mereka membutuhkan ruang sebagai
gelanggang untuk meletupkan karya guna bertemu antara pegiat dan
penikmat mereka. Jika ini tak direspon serius oleh penguasa maka akan
menjadi bom waktu yang akan meledak menjadi aliran – aliran kepentigan,
dan kesenian gresik akan lebih banyak menyuarakan unsur afiliasi
golongan dari pada umanisme sosial. Dan satu lagi catatan yang ringkas.
Kesenian gresik harus didekatkan dengan masyarakatnya sebelum masuk
kembali para ruang ekslusif yang malah tak jamah , ruang publik –
publik harus dimanfaatkan karena disanalah gagasan – gagasan segar akan
muncul dikemudian. Siap – siap saja seandainya UNMU membuka satu lagi
ruang Fakultas Seni dan Sastra , Ok....Serasa minum es jeruk disiang
hari.
---------------Surinwelangon22/02/2010.penulisadalalahPegiatsenidanbudaya-----------------------
Saya sangat setuju dengan pemikiran beliau..karena kita udah banyak melihat tidak hanya ekonomi yang di kuasai kapitalis di negeri ini bahkan seni dan budaya mulai terpinggirkan karena banyak seniman yang terbentur ekonomi untuk menghasilkan karya seni yang hebat..trus berjuang bung..aku yakin saudara mampu untuk itu
BalasHapus